Aku bukan wanita yang putih
dari ujung kepala hingga jemari kaki, perihal ahli dalam mencetak dosa entah
harus bangga atau memaki diri. Jika gelap adalah langit malam, mungkin hidupku
tak memiliki siang, sebab hitam jauh lebih dominan.
Satu dua lelaki datang dan
pergi silih berganti, doa-doa ku layangkan agar kelak Tuhan kirimkan ia padaku,
seorang lelaki pemeluk agama yang sama denganku, dan jauh lebih mempelajari
dalam segi ilmu. Bukan, aku bukan mencari yang sempurna, sebab aku tak sedang
menilai rasa, namun ia yang bisa menghapus atau setidaknya mengurangi
kebiasaanku membuat jejak ke neraka, dan mulai mengajakku melangkah perlahan
penuh kepastian untuk mencapai surga.
Malam itu entah bagaimana
awalnya, yang jelas Tuhan tahu maksud dari pertemuan singkatku dengannya,
lelaki dengan usia 3 tahun di atasku. Wajahnya yang dilengkapi kumis tipis nan
manis, serta ranum senyum yang kerap ia bagi denganku. Tak melulu berpenampilan
agamis, namun selalu rapih, sopan, bersih, pun wangi di tiap pertemuan.
Setelah beberapa kali
bertemu dan berkenalan pada satu kesempatan, ia yang lebih dari sekali ku temui
di perpustakaan itu mulai mencuri perhatianku. Diam-diam, entah sadar atau
tidak, aku mengamati sepenuhnya, cara bicara, berjalan, duduk, dan lain
sebagainya.
Hari berikutnya ia kembali
duduk di tempat yang sama. Dihadapanku. Dan, lagi-lagi rasa ingin tahuku
membesar, melihat sosoknya yang begitu mudah dicintai, meski ia tak pernah
bermaksud menarik perhatian sekitar. Ia begitu tenang. Lupa diri sedikit
rasanya ingin ku minta ia membawaku pulang.
Aku kembali masuk ke alam
bawah sadar, ku sentuh daun telinganya dengan suara berbuah pertanyaan, entah
apa tujuannya, memecah keheningan atau memulai kedekatan jauh lebih dalam.
“Boleh aku tanya sesuatu?” Singkatku
setelah tak bisa lagi membendung rasa penasaran yang hanya membuahkan
terkaan-terkaan belum tentu benar.
“Tanyakan apa pun yang kau ingin tanya, selagi mampu, akan ku jawab.” Lagi-lagi ia tersenyum saat bicara denganku, atau paling tidak, ia tak pernah menampakan wajahnya yang carut-marut pada kedua mataku.
“Kau selalu tampak rapih, sopan, bersih, bahkan wangi, tapi aku tak melihat itu sebagai cara kau menjadi pusat perhatian, lantas, untuk apa?”
“Oh, perihal penampilan?” Ia terkekeh sebentar, membuatku ingin lari dari pandangan matanya, menghilang, wajahku merah jambu karena malu sudah terlalu ingin tahu, namun tentu saja aku hanya bisa tersipu, kemudian ia melanjutkan pembicaraan.
“Aku melakukannya untuk mencari perhatian Tuhan, aku rapih agar tiap saat bisa bertemu dengan-Nya, membicarakan skenario hidupku yang telah Ia tulis dengan begitu luar biasa. Aku sopan karena aku tak ingin kehadiranku mengganggu sesama, setidaknya aku memilih untuk bersikap senyamannya hatiku. Aku bersih sebab aku suka, itu saja. Dan, aku wangi karena indera penciumanku butuh penyegaran tiap waktu. Terima kasih atas penilaianmu yang luar biasa membahagiakan itu.”
“Untuk Tuhan dan dirimu sendiri?”
“Untuk Tuhan, diriku, dan lainnya, kamu contohnya.”
“Tanyakan apa pun yang kau ingin tanya, selagi mampu, akan ku jawab.” Lagi-lagi ia tersenyum saat bicara denganku, atau paling tidak, ia tak pernah menampakan wajahnya yang carut-marut pada kedua mataku.
“Kau selalu tampak rapih, sopan, bersih, bahkan wangi, tapi aku tak melihat itu sebagai cara kau menjadi pusat perhatian, lantas, untuk apa?”
“Oh, perihal penampilan?” Ia terkekeh sebentar, membuatku ingin lari dari pandangan matanya, menghilang, wajahku merah jambu karena malu sudah terlalu ingin tahu, namun tentu saja aku hanya bisa tersipu, kemudian ia melanjutkan pembicaraan.
“Aku melakukannya untuk mencari perhatian Tuhan, aku rapih agar tiap saat bisa bertemu dengan-Nya, membicarakan skenario hidupku yang telah Ia tulis dengan begitu luar biasa. Aku sopan karena aku tak ingin kehadiranku mengganggu sesama, setidaknya aku memilih untuk bersikap senyamannya hatiku. Aku bersih sebab aku suka, itu saja. Dan, aku wangi karena indera penciumanku butuh penyegaran tiap waktu. Terima kasih atas penilaianmu yang luar biasa membahagiakan itu.”
“Untuk Tuhan dan dirimu sendiri?”
“Untuk Tuhan, diriku, dan lainnya, kamu contohnya.”
Aku tertegun mendengar kalimat
terakhir yang ia ucapkan sebagai jawaban, terlalu gugup, membuatku bahkan tak
sempat menanyakan maksud dari pernyataannya itu. Pembicaraan tak bisa
diteruskan, aku harus pamit pulang sebab hari sudah semakin malam, Ayah dan
Ibuku menunggu di rumah untuk menyantap hidangan sebelum tidur.
Sepanjang aku duduk di meja
makan, pikiranku melayang, mengingat lagi apa yang terjadi di perpustakaan
tadi. Selesai makan malam aku pamit pada Ayah dan Ibuku, untuk langsung masuk
kamar, mereka mengangguk dalam satu waktu. Aku terlelap sesaat setelah doa
selesai di baca satu persatu.
Paginya, Ibu masuk kamarku
yang terbiasa tak terkunci, ia membuka jendela kamar yang ada di sisi kiri
tempat tidur, kemudian keningku mengernyit akibat sapaan mentari yang mengecup
mataku tanpa permisi. Ibu tersenyum melihat anak gadisnya lupa ibadah subuh.
“Kamu kesiangan lagi, ya?”
Tanya Ibu seraya mengelus punggungku dengan tangannya yang penuh kasih.
Aku hanya menggangguk manja
dipelukan Ibu.
“Besok-besok, Ibu, masuk
kamar lebih pagi, ya. Jangan mau kalah sama matahari, dia saja pagi-pagi sudah
menyapa bumi, masa kamu masih pelukan sama kasur. Kalau terus-terusan
sayang-sayangan sama kasur, kapan mau ketemu jodohnya? Bangun pagi, sapa
duniamu, sayang.” Kalimat Ibu kali ini menamparku, pelan, namun sangat dalam.
Tapi, aku menerimanya dengan baik, karena aku yakin maksud Ibu pasti baik, ku
tukar kalimatnya dengan merekatkan pelukan semakin hangat pada badan wanita
kecintaanku itu.
Satu dua jam terlewati, usai
sarapan langkahku beranjak lagi, menuju tempat di mana buku-buku rebah dengan
rapih, dan aku melihatnya lagi, namun bukan di meja yang biasa kita tempati
bersama. Siang itu aku mendapati tubuh gagah dengan tinggi yang membuat
kepalaku hanya sepundaknya sedang menggelar sajadah, air wudhunya pun masih
menetes dengan syahdu tepat di bagian dagu. Aku menatapnya hingga rukuk,
kemudian memutuskan untuk duduk dan menunggu.
Rakaat demi rakaat ia penuhi
dengan hikmat, gerakannya tak terburu-buru. Ya, aku masih memperhatikannya.
Kepalanya menoleh ke kanan lalu kiri, di usapnya kedua telapak tangan pada
wajah, kemudian tangan menengadah, ia sedang berdoa. Dan, aku masih tertegun,
di sana, lagi-lagi ia mencuri perhatianku.
“Hai, sudah lama sampai?”
Sapanya sembari menghampiriku yang sudah memalingkan pandangan ke buku-buku
pilihan.
“Baru kok, belum sampai 15 menit.” Jawabku ramah lengkap dengan senyum yang semoga mempesona baginya.
“Kamu baru datang?” Sambungku seolah baru saja melihatnya.
“Aku udah satu jam di sini”
“Oh gitu. Tadi duduk di mana? Kok gak kelihatan?”
“Di sini kok, cuma tadi ke belakang sebentar, sekalian nuntasin empat rakaat.”
“Baru kok, belum sampai 15 menit.” Jawabku ramah lengkap dengan senyum yang semoga mempesona baginya.
“Kamu baru datang?” Sambungku seolah baru saja melihatnya.
“Aku udah satu jam di sini”
“Oh gitu. Tadi duduk di mana? Kok gak kelihatan?”
“Di sini kok, cuma tadi ke belakang sebentar, sekalian nuntasin empat rakaat.”
Percakapanku dan dia
berlangsung hingga senja mengecup pintu perpustakaan malu-malu, sampai lupa
jika rakaat demi rakaat sudah terlewat bagiku.
“Aku mau pulang, tapi
sebelumnya mau cari makan dulu, lapar, mau ikut gak?” Ia menutup buku dan
mengajakku dengan santun.
“Lama gak? Aku gak mau pulang terlalu malam.”
“Enggak kok, aku empat rakaat sebentar, terus kita langsung cari makan, nanti aku antar kamu pulang sekalian, ya.”
“Lama gak? Aku gak mau pulang terlalu malam.”
“Enggak kok, aku empat rakaat sebentar, terus kita langsung cari makan, nanti aku antar kamu pulang sekalian, ya.”
Aku mengangguk tanda setuju,
ia berjalan ke arah di mana tadi siang aku terpesona melihatnya. Kemudian aku
mengikuti dari belakang tanpa sepengetahuannya.
“Lho, kamu ngikutin aku?”
Tanya ia padaku sesaat setelah mengambil wudhu.
“Iya. Mau ikut empat rakaat, tadi subuh sama dzuhur sudah lewat. Jamaah, ya?”
“Dengan senang hati.”
“Iya. Mau ikut empat rakaat, tadi subuh sama dzuhur sudah lewat. Jamaah, ya?”
“Dengan senang hati.”
Satu dua tiga dan empat
rakaat berjalan hikmat. Aku baru saja merasakan bersujud tanpa memikirkan
apa-apa selain Tuhan yang luar biasa. Aku merasa berbicara langsung dalam
pelukan Tuhan sore itu. Bukan karena lelaki itu aku kembali berjalan mendekat
pada Tuhan, tapi aku rasa Tuhan mengutusnya untuk menyadarkanku, betapa lama
sudah aku tak duduk dan bersimpuh untuk Ia Sang Maha Segala.
Setelah itu ia menepati
janjinya, mengajakku makan di waktu yang sudah terlalu petang untuk disebut
makan siang, kemudian mengantarku sampai di depan mata kedua orangtuaku. Ia
pamit pulang setelah mengecup kedua telapak tangan orangtuaku.
Hari-hari berikutnya ku
penuhi dengan rasa syukur, sebab rakaat demi rakaat sudah dapat ku penuhi tanpa
perlu diingatkan. Aku menggelar sajadah, untuk bertemu dengan Tuhan, berbincang
tentang apa saja yang ingin ku ceritakan pada-Nya, meski Ia pasti jauh lebih
tahu tanpa pernah ku beritahu.
Lelaki yang ku temui di
perpustakaan itu kerap datang ke rumah meski aku sedang tak ada, ia menemui
orangtuaku dan bicara banyak hal, Ayah dan Ibu sudah jatuh cinta pada
pribadinya yang memang luar biasa. Sampai pada suatu malam, aku kembali
menuntaskan rakaat demi rakaat, dan ku akhiri dengan doa tulus dari dalam dada.
Ku isi doa-doaku malam itu dengan permintaan tentang aku dan dia, agar Tuhan
memberi restu, dan kita bisa berjodoh.
Selesai berdoa aku beranjak
dari kamar menuju ruang keluarga, tak ada Ayah dan Ibu di sana, aku mencari di
bagian rumah lainnya, dan ku temukan Ayah, Ibu, dan dia di ruang tamuku, namun
mereka tak hanya bertiga, ada dua orang lagi yang sebelumnya tak pernah ku
lihat.
Setelah duduk dan ikut
tenggelam dalam pembicaraan malam itu, aku mengerti bahwa Tuhan menjawab segala
doa dalam waktu yang tepat. Selalu. Sebab, setelah doa ku layangkan seusai
sujud malam itu, ia datang bersama kedua orangtuanya, bicara pada kedua
orangtuaku, meminta restu agar bisa menikmati sisa usia bersamaku, memilihku
menjadi istrinya hingga akhir, memilihku menjadi ibu dari anak-anaknya kelak,
anak-anaknya bersamaku. Dan, aku? Tak pernah ingin menjauh dari Tuhan (lagi).
Aku tidak bisa menulis sesuatu yang indah untuk dibaca. oleh karena itu saya meminta Syanu(teman smk) untuk menuliskan tema tentang kekasih ku untuk surga. thanks syanu yang sudah menepati janjinya untuk menggambarkan perasaanku saat ini.
Recomended.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar